Teriakan "kebakaran, kebakaran" merupakan ekspresi panik tiap
manusia yang rumahnya terbakar.
Hal serupa juga terjadi dalam peradaban manusia. Di mana- mana
terjadi kebakaran. Jangankan pengusaha dan politisi yang dari
asalnya sudah dibakar uang dan kekuasaan, para intelektual, seniman,
bahkan dalam beragama pun banyak manusia terbakar. Jangankan negara
berkembang yang baru mengenal pendidikan dan demokrasi, AS yang
duduk lama sebagai guru dunia mengalami ribuan kasus pelecehan agama
setiap tahun.
Akibatnya, sejarah seperti bergerak dari satu kebakaran ke kebakaran
lain. Bunda Theresa punya pendapat menarik, The problem of the world
is that we draw too narrow line on our concept of family. Tidak saja
dalam konsep keluarga manusia mengalami penyempitan dan kepicikan,
nyaris dalam segala hal terjadi penyempitan dan kepicikan. Dulu,
hubungan sepupu itu dekat. Kini, banyak orang yang bersaudara
kandung pun menjadi jauh. Dulu, begitu mudah membuat keputusan untuk
kepentingan bersama. Kini, yang sederhana pun dibikin rumit.
Akibatnya, terlalu banyak titik api dalam kehidupan manusia.
Api menjadi air
Salah satu perlambang alam yang membawa kesejukan adalah air yang
secara kimiawi dirumuskan, H20. Hidrogen adalah bahan yang mudah
terbakar. 0ksigen adalah yang memungkinkan kebakaran terjadi.
Uniknya, ketika dua bahan sama-sama dekat api ini tepat diramu, ia
menjadi air yang sejuk, teduh, dan lembut.
Ini memberi inspirasi, lingkungan boleh penuh kebakaran, zaman boleh
berputar putaran yang banyak apinya, tetapi bila semua diolah secara
tepat, manusia bisa mengalami hidup penuh keteduhan, kesejukan.
Perhatikan banyak manusia yang tekun berlatih di jalan spiritual
(zikir, kontemplasi, yoga, meditasi, dan lain-lain) sebelum berlatih
banyak yang hidupnya terbakar. Namun, bahan-bahan kehidupan yang
membakar itu diolah dengan latihan spiritual, banyak yang hidupnya
menjadi teduh, sejuk, dan lembut.
Pema Chodron dalam When Things Fall Apart adalah contoh indah.
Setelah 20 tahun lebih sebagai ibu rumah tangga, tiba-tiba hidupnya
terbakar perceraian. Kebakaran ini membawanya berkenalan dengan
meditasi. Di pusat-pusat meditasi umumnya, tangga pertama adalah
etika dan tata susila. Ketekunan latihan yang dibimbing etika
menghantar seseorang mengalami konsentrasi (semadi). Ia yang sering
mengalami konsentrasi, suatu saat dibukakan pintu sejuk
kebijaksanaan. Dalam pengalaman Pema Chodron, tak saja hidupnya
menjadi sejuk dan lembut, bahkan diakui sebagai salah satu
meditation master.
Thich Nhat Hanh dalam retretnya pernah cerita sampah dan bunga.
Manusia yang terbakar punya ciri sama: serakah mau bunga,
mencampakkan sampah. Menerima teman membuang musuh. Teman ibarat
bunga, musuh ibarat sampah. Bunga yang tidak terawat baik besok jadi
sampah. Sampah (asal bisa merawatnya) akan menjadi bunga.
Cara terbaik mengolah sampah kehidupan menjadi bunga indah kehidupan
adalah dengan menerapkan etika dan tata susila. Hentikan kejahatan,
perbanyak kebajikan, murnikan pikiran. Tidak kebetulan jika kemudian
kata sila dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang membuat
seseorang menjadi sejuk dan lembut.
Tidak sedikit guru yang menyebut ini sebagai jantung spiritualitas:
bersihkan batin dari segala kekotoran (keserakahan, kemarahan,
kebencian), lalu lihat dan rasakan sendiri bagaimana pintu keteduhan
terbuka.
Memberi itu menyejukkan
Menyusul berita perampokan disertai pembunuhan di Jawa Tengah,
seorang guru di Mendut ditanya muridnya apakah beliau mengenal
korban perampokan. Guru ini menjawab dengan lembut, "Sakit fisik
(sebagaimana dialami korban perampokan) menimbulkan rasa kasihan.
Sakit mental (sebagai sebab seseorang merampok) menimbulkan
kebencian. Rasa kasihan maupun kebencian, keduanya kekotoran batin.
Pancarkan sinar kasih pada keduanya." Inilah ciri manusia yang sudah
bisa mengolah kebakaran menjadi keteduhan: tidak serakah memilih
baik di atas buruk, lalu memancarkan sinar kasih kepada siapa saja.
Dalam pemahaman seperti ini, masalah akan datang, godaan juga
berkunjung, tetapi yang penting adalah bagaimana mengolahnya. Thich
Nhat Hanh mengajarkan, saat hidup penuh bunga (baca: kaya, dipuja),
jangan lupa semua bunga akan jadi sampah. Bila hidup penuh sampah
(baca: cacian, hujatan), ingatlah untuk mengolahnya menjadi bunga.
Di tangan manusia yang cermat, sampah diolah menjadi bunga. Tak
setitik debu pun tidak berguna. Larry Rosenberg memberi judul
karyanya Living in the light of death. Dalam batin jenis ini,
kematian pun menjadi cahaya penerang perjalanan. Perhatikan
kesimpulan Larry Rosenberg: "The awakened mind is the mind that is
intimate with all things". Batin tercerahkan adalah batin yang
bersahabat dengan semua, termasuk dengan kematian.
Seorang wartawati AS yang bertugas ke Israel berjumpa dengan orang
yang berdoa menghadap tembok pada pagi-sore tanpa henti setiap hari.
Saat ditanya sudah berapa lama berdoa seperti ini, ia menjawab lebih
dari 25 tahun. Saat ditanya hasilnya, ia bergumam: "ada yang berdoa
saja dunia seperti ini, tidak terbayang wajah kehidupan bila tidak
ada yang berdoa". Inilah wajah lain batin yang sejuk: berdoa untuk
keselamatan semua.
Sejumlah sahabat bertanya, ada apa di Bali sehingga mudah
menimbulkan kedamaian. Sebagaimana diajarkan tetua di Bali, hidup
adalah persembahan. Untuk itu, mengerti tidak mengerti, berbuah
tidak berbuah, ribuan orang Bali melakukan persembahan setiap hari.
Tidak hanya sesajen sebagai persembahan, bertani, menari, memukul
gamelan, semua adalah persembahan.
Dalam klasifikasi sederhana, persembahan luar (outer offering)
adalah sesajen. Persembahan dalam (inner offering) adalah pikiran,
kata-kata, dan tindakan yang teduh. Persembahan terdalam (innermost
offering) hanya boleh diceritakan di antara para guru. Yang boleh
dibuka hanya batin jadi teduh. Charlotte Joko Beck dalam Nothing
Special menyimpulkan: practice is giving. Memberikan itu
menyejukkan. Itu sebabnya manusia berlatih berbahagia dalam
memberikan.
Sumber: Mengolah Kebakaran Menjadi Keteduhan oleh Gede Prama,
Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun Bali Utara