Sabtu, 13 September 2008

Menyembuhkan Luka Batin

Ada sebuah kisah inspiratif yang saya ambil dari buku pertama saya,
Emotional Quality Management. Kisahnya begini.

"Ada sebuah kisah tentang sebuah rumah. yang kebetulan dihuni seekor
monster yang menetap di ruang bawah tanah. Sang pemilik rumah tahu
tentang kehadiran monster itu. Jika merasa terusik, monster itu akan
keluar menjahati, mengganggu bahkan memangsa siapa pun yang ada di
dalam rumah, kecuali pemilik rumah itu. Hal ini membuat si pemilik
rumah menyatakan perang dengan si monster. Namun, monster itu tak
pernah berhasil diusir keluar. Maka monster itu pun dikurung di
ruang bawah tanah.

Tetapi, monster itu selalu mampu menemukan jalan keluar. Bertahun-
tahun, monster itu selalu mengancam kehidupan pemilik rumah. Hingga
akhirnya, pemilik rumah memutuskan untuk membiarkan monster itu
naik, dan tinggal di ruang dalam. Ruang bawah tanah pun
dihancurkannya. Monster itu, ternyata merasa tidak tahan terus-
terusan tinggal di dalam rumah. Monster itu pun pergi....
Selamanya!"

Kisah di atas saya pakai untuk menggambarkan soal berbagai 'monster'
kepahitan, rasa sakit, luka ataupun kepedihan yang kita simpan terus-
menerus dalam diri kita.

Hikmahnya, selama tidak pernah diselesaikan, kepedihan itu akan
terus-menerus menghantui dan mengganggu kehidupan kita. Itulah
sebabnya, ada benarnya saat Milton Wrad, penulis buku The Brilliant
Function of Pain (Fungsi Brilian dari Rasa Sakit),
mengatakan, "Fearing pain, fighting pain, avoiding pain or ignoring
pain, only increasing it. Flow with it". Artinya, ketakutan pada
rasa sakit, melawan rasa sakit, menghindari rasa sakit dan mengelak
dari rasa sakit hanya akan meningkatkan rasa sakit kita. Mengalirlah
dengan rasa sakit itu. Hal ini terutama benar, khususnya kalau kita
bicara soal rasa sakit emosional.

Setiap orang pastilah pernah memiliki luka emosional. Bagi
segelintir orang, luka tersebut menjadi luka batin berkepanjangan.
Namun, di pihak lain ada yang bisa memilih untuk tidak menjadi
terhambat karena luka-luka tersebut.

Saya ingat, ada dua wanita yang pernah dilecehkan secara seksual
oleh orangtuanya. Satunya hidup menderita dan mulai membenci semua
laki-laki. Satunya lagi, bisa belajar memaafkan dan memulai lembaran
hidup baru dengan lebih berhati-hati memilih pasangan.

Wanita yang kedua ini, bisa kembali menjalani hidupnya secara tegar.
Saat ditanya, bagaimana filosofi hidupnya dan mengapa dia bisa
bertahan, jawabnya sederhana, "Pain is inevitable. Suffering is
optional." (mengalami rasa sakit itu lumrah, tidak akan terhindari.
Tapi menderita itu adalah soal pilihan kita). Sebuah filosofi hidup
yang menarik.

6 Langkah

Nah, memasuki bulan Ramadan ini, ada baiknya juga jika kita
menggunakan momen berharga ini bukan hanya sekadar menahan lapar dan
haus, melainkan juga untuk membereskan luka-luka pada diri kita.
Secara psikologis, ada enam langkah proses penyembuhan luka batin
yang bisa kita lakukan pada diri kita.

Pertama, identifikasi. Yakni mengidentifikasikan kembali isu-isu
lama yang pernah membuat Anda terluka. Banyak orang enggan
melakukannya, karena takut membangunkan 'monster' yang tertidur.

Namun, selama hanya ditimbun dan tidak diselesaikan secara tepat,
maka monster ini akan terus-menerus mencari cara mengganggu
kehidupan kita. Cara terbaik adalah menghadapinya dengan gagah
berani dan sikap yang positif. Itulah sikap terbaik menghadapi luka-
luka lama kita.

Kedua, kaitkan. Tanyakanlah pada diri Anda bagaimana luka-luka batin
itu berpengaruh terhadap kehidupan Anda sekarang. Bagaimanakah hal
itu mengganggu proses Anda sekarang. Kaitkan isu lama Anda dengan
situasi yang Anda alami sekarang.

Biasanya luka batin serta pengalaman tak menyenangkan pada masa
lampau memberikan pengaruh terhadap apa yang terjadi saat ini.
Semakin banyak Anda terpengaruh, semakin Anda perlu membereskan.

Ketiga, pikirkan. Pikirkan apa yang mau diubah. Pikirkan pula, apa
akibatnya bagi diri Anda jika hal tersebut dapat diubah dan
diselesaikan. Pikirkan pula apa akibatnya jika ternyata Anda tidak
mengubahnya sama sekali.

Keempat, afirmasi. Di langkah keempat ini, lakukanlah afirmasi terus-
menerus kepada diri sendiri, bahwa Anda perlu, ingin serta memilih
untuk berubah. Berlajarlah untuk mengatakan, "Luka ini menyiksaku,
tetapi saya lebih kuat dan saya ingin menyelesaikan sehingga luka
ini tidak lagi menghalangi hidupku", Ayo. Diriku lebih kuat dari
luka ini." Saya tidak akan membiarkan luka ini mengganggu hidupku.
Itulah pilihanku".

Kelima, ventilasi emosi. Di sinilah kita ditantang untuk
memventilasikan emosi kita secara positif. Arti sederhananya, Anda
perlu mencari cara untuk menyalurkan kemarahan tersebut secara
sehat. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas atau
kegiatan seperti menulis diary, membagikan dengan orang lain,
berbicara dengan seorang ahli, berolah raga, yoga, meditasi, dan
masih banyak aktivitas lainnya.

Akhirnya, tahap keenam penyembuhan. Di sinilah kita mencoba
melakukan proses penyembuhan baik secara mental maupun spiritual.
Dalam tahapan ini, kita bisa membingkai ulang dengan memaknai secara
berbeda apa yang terjadi ataupun mengganti kesan kita yang negatif
soal luka itu, dengan pikiran positif.

Sebenarnya, hingga di langkah keenam ini, kita sudah menyelesaikan
secara pribadi. Namun, jika diperlukan, langkah ini pun bisa
dilanjutkan dengan menyelesaikan hal ini dengan penyebab luka batin
Anda yang masih hidup.

Misalkan ada seorang anak dari istri pertama yang diusir keluar
rumah oleh ayahnya, setelah ayahnya menikah dengan istri kedua. Hal
ini menimbulkan luka batin cukup lama, tapi akhirnya setelah belajar
proses di atas, dia bisa menelepon papa-nya dan mengatakan, "Papa,
meskipun papa pernah usir saya dan saya terluka, saya mau bilang
saya memaafkan papa hari ini." Bertahun-tahun kemudian, saat ditanya
sahabatnya bagaimana dia mampu melakukannya, dia hanya
berkata, "Saya menerima papa untuk menunjukkan bahwa diri saya lebih
baik dari diri papa!"

Dalam kesempatan ini pula, mari kita belajar perlakukan luka batin
kita dengan ramah. Lihat kembali luka itu, dan jangan ditolak.
Belajarlah menerima kenyataaan dan perlakukan rasa sakit kita
tersebut dengan ikhlas. Itu semua adalah pelajaran penting dalam
hidup kita.

Hingga akhirnya, kita harus belajar mengatakan "Terima kasih luka
batinku. Ini nggak nyaman tapi terima kasih. Kau sudah memberikan
pelajaran penting bagi hidupku!". Pada akhirnya, semua luka batin
yang tersembuhkan dalam hidup kita akan menjadi kebijaksanaan yang
penting.

Itulah sebabnya orang mengatakan, "Wisdom is a healed pain".
Begitulah. Rasa sakit dan luka batin yang telah disembuhkan, akan
menjadi kebijaksanaan baru buat kita! Selamat menjalankan ibadah
puasa dengan hati yang damai.

Sumber: Menyembuhkan Luka Batin oleh Anthony Dio Martin, Managing Director HR Excellency

Mengolah Kebakaran Menjadi Keteduhan

Teriakan "kebakaran, kebakaran" merupakan ekspresi panik tiap
manusia yang rumahnya terbakar.

Hal serupa juga terjadi dalam peradaban manusia. Di mana- mana
terjadi kebakaran. Jangankan pengusaha dan politisi yang dari
asalnya sudah dibakar uang dan kekuasaan, para intelektual, seniman,
bahkan dalam beragama pun banyak manusia terbakar. Jangankan negara
berkembang yang baru mengenal pendidikan dan demokrasi, AS yang
duduk lama sebagai guru dunia mengalami ribuan kasus pelecehan agama
setiap tahun.

Akibatnya, sejarah seperti bergerak dari satu kebakaran ke kebakaran
lain. Bunda Theresa punya pendapat menarik, The problem of the world
is that we draw too narrow line on our concept of family. Tidak saja
dalam konsep keluarga manusia mengalami penyempitan dan kepicikan,
nyaris dalam segala hal terjadi penyempitan dan kepicikan. Dulu,
hubungan sepupu itu dekat. Kini, banyak orang yang bersaudara
kandung pun menjadi jauh. Dulu, begitu mudah membuat keputusan untuk
kepentingan bersama. Kini, yang sederhana pun dibikin rumit.
Akibatnya, terlalu banyak titik api dalam kehidupan manusia.

Api menjadi air

Salah satu perlambang alam yang membawa kesejukan adalah air yang
secara kimiawi dirumuskan, H20. Hidrogen adalah bahan yang mudah
terbakar. 0ksigen adalah yang memungkinkan kebakaran terjadi.
Uniknya, ketika dua bahan sama-sama dekat api ini tepat diramu, ia
menjadi air yang sejuk, teduh, dan lembut.

Ini memberi inspirasi, lingkungan boleh penuh kebakaran, zaman boleh
berputar putaran yang banyak apinya, tetapi bila semua diolah secara
tepat, manusia bisa mengalami hidup penuh keteduhan, kesejukan.
Perhatikan banyak manusia yang tekun berlatih di jalan spiritual
(zikir, kontemplasi, yoga, meditasi, dan lain-lain) sebelum berlatih
banyak yang hidupnya terbakar. Namun, bahan-bahan kehidupan yang
membakar itu diolah dengan latihan spiritual, banyak yang hidupnya
menjadi teduh, sejuk, dan lembut.

Pema Chodron dalam When Things Fall Apart adalah contoh indah.
Setelah 20 tahun lebih sebagai ibu rumah tangga, tiba-tiba hidupnya
terbakar perceraian. Kebakaran ini membawanya berkenalan dengan
meditasi. Di pusat-pusat meditasi umumnya, tangga pertama adalah
etika dan tata susila. Ketekunan latihan yang dibimbing etika
menghantar seseorang mengalami konsentrasi (semadi). Ia yang sering
mengalami konsentrasi, suatu saat dibukakan pintu sejuk
kebijaksanaan. Dalam pengalaman Pema Chodron, tak saja hidupnya
menjadi sejuk dan lembut, bahkan diakui sebagai salah satu
meditation master.

Thich Nhat Hanh dalam retretnya pernah cerita sampah dan bunga.
Manusia yang terbakar punya ciri sama: serakah mau bunga,
mencampakkan sampah. Menerima teman membuang musuh. Teman ibarat
bunga, musuh ibarat sampah. Bunga yang tidak terawat baik besok jadi
sampah. Sampah (asal bisa merawatnya) akan menjadi bunga.

Cara terbaik mengolah sampah kehidupan menjadi bunga indah kehidupan
adalah dengan menerapkan etika dan tata susila. Hentikan kejahatan,
perbanyak kebajikan, murnikan pikiran. Tidak kebetulan jika kemudian
kata sila dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang membuat
seseorang menjadi sejuk dan lembut.

Tidak sedikit guru yang menyebut ini sebagai jantung spiritualitas:
bersihkan batin dari segala kekotoran (keserakahan, kemarahan,
kebencian), lalu lihat dan rasakan sendiri bagaimana pintu keteduhan
terbuka.

Memberi itu menyejukkan

Menyusul berita perampokan disertai pembunuhan di Jawa Tengah,
seorang guru di Mendut ditanya muridnya apakah beliau mengenal
korban perampokan. Guru ini menjawab dengan lembut, "Sakit fisik
(sebagaimana dialami korban perampokan) menimbulkan rasa kasihan.
Sakit mental (sebagai sebab seseorang merampok) menimbulkan
kebencian. Rasa kasihan maupun kebencian, keduanya kekotoran batin.
Pancarkan sinar kasih pada keduanya." Inilah ciri manusia yang sudah
bisa mengolah kebakaran menjadi keteduhan: tidak serakah memilih
baik di atas buruk, lalu memancarkan sinar kasih kepada siapa saja.

Dalam pemahaman seperti ini, masalah akan datang, godaan juga
berkunjung, tetapi yang penting adalah bagaimana mengolahnya. Thich
Nhat Hanh mengajarkan, saat hidup penuh bunga (baca: kaya, dipuja),
jangan lupa semua bunga akan jadi sampah. Bila hidup penuh sampah
(baca: cacian, hujatan), ingatlah untuk mengolahnya menjadi bunga.

Di tangan manusia yang cermat, sampah diolah menjadi bunga. Tak
setitik debu pun tidak berguna. Larry Rosenberg memberi judul
karyanya Living in the light of death. Dalam batin jenis ini,
kematian pun menjadi cahaya penerang perjalanan. Perhatikan
kesimpulan Larry Rosenberg: "The awakened mind is the mind that is
intimate with all things". Batin tercerahkan adalah batin yang
bersahabat dengan semua, termasuk dengan kematian.

Seorang wartawati AS yang bertugas ke Israel berjumpa dengan orang
yang berdoa menghadap tembok pada pagi-sore tanpa henti setiap hari.
Saat ditanya sudah berapa lama berdoa seperti ini, ia menjawab lebih
dari 25 tahun. Saat ditanya hasilnya, ia bergumam: "ada yang berdoa
saja dunia seperti ini, tidak terbayang wajah kehidupan bila tidak
ada yang berdoa". Inilah wajah lain batin yang sejuk: berdoa untuk
keselamatan semua.

Sejumlah sahabat bertanya, ada apa di Bali sehingga mudah
menimbulkan kedamaian. Sebagaimana diajarkan tetua di Bali, hidup
adalah persembahan. Untuk itu, mengerti tidak mengerti, berbuah
tidak berbuah, ribuan orang Bali melakukan persembahan setiap hari.
Tidak hanya sesajen sebagai persembahan, bertani, menari, memukul
gamelan, semua adalah persembahan.

Dalam klasifikasi sederhana, persembahan luar (outer offering)
adalah sesajen. Persembahan dalam (inner offering) adalah pikiran,
kata-kata, dan tindakan yang teduh. Persembahan terdalam (innermost
offering) hanya boleh diceritakan di antara para guru. Yang boleh
dibuka hanya batin jadi teduh. Charlotte Joko Beck dalam Nothing
Special menyimpulkan: practice is giving. Memberikan itu
menyejukkan. Itu sebabnya manusia berlatih berbahagia dalam
memberikan.

Sumber: Mengolah Kebakaran Menjadi Keteduhan oleh Gede Prama,
Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun Bali Utara